Kajian Tafsir Surat An Nahl
Ayat 125
1. Teks Surat An Nahl Ayat 125
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ
بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Artinya:
“Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta bantahlah mereka dengan
cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang
lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk”[1]
2. Asbab An-Nuzul Surat An
Nahl ayat 125
Para mufasir
berbeda pendapat seputar sabab an-nuzul (latar belakang turunnya)
ayat ini. Al-Wahidi menerangkan bahwa ayat ini turun setelah Rasulullah SAW.
menyaksikan jenazah 70 sahabat yang syahid dalam Perang Uhud, termasuk Hamzah,
paman Rasulullah.[2] Al-Qurthubi
menyatakan bahwa ayat ini turun di Makkah ketika adanya perintah kepada
Rasulullah SAW, untuk melakukan gencatan senjata (muhadanah) dengan pihak Quraisy. Akan tetapi, Ibn Katsir tidak menjelaskan adanya riwayat yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut.[3]
Rasulullah SAW, untuk melakukan gencatan senjata (muhadanah) dengan pihak Quraisy. Akan tetapi, Ibn Katsir tidak menjelaskan adanya riwayat yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut.[3]
Meskipun
demikian, ayat ini tetap berlaku umum untuk sasaran dakwah siapa saja, Muslim
ataupun kafir, dan tidak hanya berlaku khusus sesuai dengan sabab an-
nuzul-nya (andaikata ada sabab an-nuzul-nya). Sebab, ungkapan yang ada
memberikan pengertian umum.[4] Ini
berdasarkan kaidah ushul:
أَنَّ الْعِبْرَةَ لِعُمُومِ
اللَّفْظِ لَا بِخُصُوصِ السَّبَبِ
Artinya:
“Yang menjadi patokan adalah
keumuman ungkapan, bukan kekhususan sebab”[5]
Setelah kata ud‘u (serulah)
tidak disebutkan siapa obyek (maf‘ûl bih)-nya. Ini adalahuslub (gaya pengungkapan)
bahasa Arab yang memberikan pengertian umum (li at-ta’mîm).[6]
Dari segi siapa yang berdakwah,
ayat ini juga berlaku umum. Meski ayat ini adalah perintah Allah kepada
Rasulullah, perintah ini juga berlaku untuk umat Islam. Sebagaimana kaidah
dalam ushul fikih :
خطاب الرسول خظاب لامته مالم
يرد دليل التحصيص
Artinya:
“Perintah Allah kepada
Rasulullah, perintah ini juga berlaku untuk umat Islam, selama tidak ada
dalil yang mengkhususkannya.” [7]
3. Beberapa Pendapat Ahli
Tafsir
a. Tafsir
Al-Jalaalayn
{ ادع
} الناس يا محمد صلى الله عليه وسلم { إلى سَبِيلِ رَبّكَ } دينه { بالحكمة }
بالقرآن { والموعظة الحسنة } مواعظة أو القول الرقيق { وجادلهم بالتى } أي
المجادلة التي { هِىَ أَحْسَنُ } كالدعاء إلى الله بآياته والدعاء إلى
حججه { إِنَّ رَّبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ } أي عالم { بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ
وَهُوَ أَعْلَمُ بالمهتدين } فيجازيهم ،
وهذا قبل الأمر بالقتال . ونزل
لما قتل حمزة
Artinya:
“Serulah (manusia, wahai
Muhammad) ke jalan Rabb-mu (agama-Nya) dengan hikmah (dengan al-Quran) dan
nasihat yang baik (nasihat-nasihat atau perkataan yang halus) dan debatlah
mereka dengan debat terbaik (debat yang terbaik seperti menyeru manusia kepada
Allah dengan ayat-ayat-Nya dan menyeru manusia kepada hujah). Sesungguhnya Rabb-mu,
Dialah Yang Mahatahu, yakni Mahatahu tentang siapa yang sesat dari jalan-Nya,
dan Dia Mahatahu atas orang-orang yang mendapatkan petunjuk. Maka Allah
membalas mereka. Hal ini terjadi sebelum ada perintah berperang. Ketika
Hamzah dibunuh (dicincang dan meninggal dunia pada Perang Uhud)” [8]
b. Tafsir
al-Qurthuby
هذه الآية نزلت بمكة في وقت
الامر بمهادنة قريش، وأمره أن يدعو إلى دين الله وشرعه بتلطف ولين دون مخاشنة
وتعنيف، وهكذا ينبغى أن يوعظ المسلمون إلى يوم القيامة. فهى محكمة في جهة العصاة
من الموحدين، ومنسوخة بالقتال في حق الكافرين. وقد قيل: إن من أمكنت معه هذه
الاحوال من الكفار ورجى إيمانه بها دون قتال فهى فيه محكمة. والله أعلم.
Artinya:
“(Ayat ini
diturunkan di Makkah saat Nabi SAW. diperintahkan untuk bersikap damai kepada
kaum Quraisy. Beliau diperintahkan untuk menyeru pada agama Allah
dengan lembut (talathuf), layyin, tidak bersikap kasar (mukhasanah), dan
tidak menggunakan kekerasan (ta’nif). Demikian pula kaum Muslim; hingga Hari
Kiamat dinasihatkan dengan hal tersebut. Ayat ini bersifat muhkam dalam
kaitannya dengan orang-orang durhaka dan telah di-mansûkh oleh ayat perang
berkaitan dengan kaum kafir. Ada pula yang mengatakan bahwa
bila terhadap orang kafir dapat dilakukan cara tersebut, serta terdapat harapan
mereka untuk beriman tanpa peperangan, maka ayat tersebut dalam keadaan
demikian bersifat muhkam. Wallâhu a’lam.)” [9]
c. Tafsir
At-Thabary
(
ادْعُ ) يا محمد من أرسلك إليه ربك بالدعاء إلى طاعته( إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ )
يقول: إلى شريعة ربك التي شرعها لخلقه، وهو الإسلام( بِالْحِكْمَةِ ) يقول بوحي
الله الذي يوحيه إليك وكتابه الذي ينزله عليك( وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ )
يقول: وبالعبرة الجميلة التي جعلها الله حجة عليهم في كتابه ، وذكّرهم بها في
تنزيله، كالتي عدّد عليهم في هذه السورة من حججه ، وذكّرهم فيها ما ذكرهم من
آلائه( وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ) يقول: وخاصمهم بالخصومة التي هي
أحسن من غيرها أن تصفح عما نالوا به عرضك من الأذى، ولا تعصه في القيام بالواجب
عليك من تبليغهم رسالة ربك.
Artinya:
“Serulah (Wahai Muhammad,
orang yang engkau diutus Rabb-mu kepada nya dengan seruan untuk taat ke
jalan Rabb-mu, yakni ke jalan Tuhanmu yang telah Dia syariatkan bagi makhluk-Nya
yakni Islam, dengan hikmah (yakni dengan wahyu Allah yang telah diwahyukan
kepadamu dan kitab-Nya yang telah Dia turunkan kepadamu) dan dengan nasihat
yang baik (al-mau’izhah al-hasanah, yakni dengan peringatan/pelajaran yang
indah, yang Allah jadikan hujah atas mereka di dalam kitab-Nya dan Allah telah
mengingatkan mereka dengan hujah tersebut tentang apa yang diturunkan-Nya.
Sebagaimana yang banyak tersebar dalam surat ini, dan Allah
mengingatkan mereka (dalam ayat dan surat tersebut) tentang berbagai
kenikmatan-Nya). Serta debatlah mereka dengan cara baik (yakni bantahlah mereka
dengan bantahan yang terbaik), dari selain bantahan itu engkau berpaling dari
siksaan yang mereka berikan kepadamu sebagai respon mereka terhadap apa yang
engkau sampaikan. Janganlah engkau mendurhakai-Nya dengan tidak menyampaikan
risalah Rabb-mu yang diwajibkan kepadamu.) [10]
d. Tafsir
al-Qurân il-‘Azhîm
يقول تعالى امرا رسوله محمدا
صلى الله عليه وسلم ان يدعو الخلق بالحكمة.قال ابن جرير:وهوما انزله عليه من
الكتاب والسنة.{والموعظة الحسنة} اي : بما فيه من الزواجر
والوقاءع
بالناس دكرهم بها ليحذروا باء
س الله تعلى. { وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ } أي: من احتاج منهم إلى
مناظرة وجدال، فليكن بالوجه الحسن برفق ولين وحسن خطاب، كما قال: { وَلا
تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلا الَّذِينَ
ظَلَمُوا مِنْهُمْ } [العنكبوت:46] . فأمره تعالى بلين الجانب، كما أمر موسى
وهارون، عليهما السلام، حين بعثهما إلى فرعون فقال: { فَقُولا
لَه قَوْلا لَيِّنًا لَعَلَّهُ
يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى } [طه :44]
وقوله: إِنَّ رَبَّكَ هُوَ
أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِين.َ أي:
قد علم الشقي منهم والسعيد، وكتب ذلك عنده وفرغ منه، فادعهم إلى الله، ولا تذهب
نفسك على من ضل منهم حسرات، فإنه ليس
عليك هداهم إنما أنت نذير، عليك
البلاغ، وعلينا الحساب
Artinya:
“(Allah, Zat Yang Mahatinggi,
berfirman dengan memerintahkan Rasul-Nya, Muhammad SAW., untuk menyeru segenap
makhluk kepada Allah dengan hikmah. Ibn Jarir menyatakan, bahwa
maksud dari hal tersebut adalah apa saja yang diturunkan kepadanya baik
al-Quran, as-Sunnah. Dan nasihat yang baik, artinya dengan apa saja yang
dikandungnya berupa peringatan (zawâjir) dan realitas-realitas manusia. Memperingatkan
mereka dengannya supaya mereka waspada terhadap murka Allah SWT. Debatlah
mereka dengan debat terbaik’ artinya barang siapa di antara mereka yang
berhujah hingga berdebat dan berbantahan maka lakukanlah hal tersebut dengan
cara yang baik, berteman, lembut, dan perkataan yang baik. Hal ini
seperti firman Allah SWT. dalam surat al-‘Ankabut (29): 46 (yang
artinya): Janganlah kalian berdebat dengan Ahli Kitab melainkan dengan
cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka. Dia
memerintahkannya untuk bersikap lembut seperti halnya Dia memerintahkan hal
tersebut kepada Musa a.s. dan Harun a.s. ketika keduanya diutus menghadap
Fir’aun seperti disebut dalam surat Thaha (20) ayat 44 (yang
artinya): Katakanlah oleh kalian berdua kepadanya perkataan lembut
semoga dia mendapat peringatan atau takut. Firman-Nya “Sesungguhnya Rabb-mu
Dialah Maha Mengetahui terhadap siapa yang sesat dari jalan-Nya” artinya
Sungguh Dia telah mengetahui orang yang celaka dan bahagia di antara mereka.
Dan Allah telah menuliskan dan menuntaskan hal itu disisinya. Oleh karena itu,
serulah mereka kepada Allah, dan janganlah engkau merasa rugi atas mereka yang
sesat, sebab bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapatkan petunjuk,
engkau semata-mata pemberi peringatan, engkau wajib menyampaikan dan Kami yang
wajib menghisabnya.)”[11]
4. Analisis Tafsir
An Nahl ayat 125
a. Makna Hikmah
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia hikmah diartikan sebagai
kebijaksanaan, kesaktian dan makna yang dalam.[12] Secara
bahasa al-hikmah berarti ketepatan dalam ucapan dan amal.[13] Menurut
ar-Raghib, al-hikmah berarti mengetahui perkara-perkara yang ada dan
mengerjakan hal-hal yang baik.[14] Menurut
Mujahid, al-hikmah adalah pemahaman, akal, dan kebenaran dalam ucapan selain
kenabian. At-Thabary mengatakan bahwa Hikmah dari Allah SWT bisa
berarti benar dalam keyakinan dan pandai dalam din dan akal. [15]
Adapun
Abdul Aziz bin Baz bin Abdullah bin Baz berdasarkan penelitiannya
menyimpulkan bahwa hikmah mengandung arti sebagai berikut:
والمراد بها: الأدلة المقنعة
الواضحة الكاشفة للحق، والداحضة للباطل؛ ولهذا قال بعض المفسرين: المعنى: بالقرآن؛
لأنه الحكمة العظيمة؛ لأن فيه البيان والإيضاح للحق بأكمل وجه، وقال بعضهم: معناه:
بالأدلة من الكتاب والسنة.
Artinya:
“Dan yang
dimaksud dengan hikmah adalah: petunjuk yang memuaskan, jelas, serta menemukan
(mengungkapkan) kebenaran, dan membantah kebatilan. Oleh karena itu, telah
berkata sebagian mufassir bahwa makna hikmah adalah Al-Qur’an, karena
sesungguhnya Al-Qur’an adalah hikmah yang agung. Karena sesungguhnya di dalam
Al Qur’an ada keterangan dan penjelasan tentang kebenaran dengan wajah yang
sempurna (proporsional). Dan telah berkata sebagian yang lain bahwa makna
hikmah adalah dengan petunjuk dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.”[16]
Pernyataan Abdul Aziz Bin Baz
tersebut sejalan dengan pendapat sebagian mufasir terdahulu seperti As-Suyuthi,
dan Al-Baghawi, As-Samarkandy yang mengartikan hikmah sebagai
al-Quran.[17] Dan
Ibnu Katsir yang menafsirkan hikmah sebagai apa saja yang diturunkan Allah
berupa al-Kitab dan As-Sunnah.[18]
Penafsiran tersebut tampaknya
masih global. Mufasir lainnya lalu menafsirkanhikmah secara lebih rinci,
yakni sebagai hujjah atau dalil. Sebagian mensyaratkan hujjah itu
harus bersifat qath‘i (pasti), seperti an-Nawawi al-Jawi. Yang
lainnya, seperti al-Baidhawi, tidak mengharuskan sifat qath‘i, tetapi
menjelaskan karakter dalil itu, yakni kejelasan yang menghilangkan kesamaran[19].
An-Nawawi al-Jawi menafsirkan hikmah sebagai hujjah yang qath‘i yang
menghasilkan akidah yang meyakinkan[20].
An-Nisaburi menafsirkan hikma hsebagai hujjah yang qath‘i yang
dapat menghasilkan keyakinan[21].
Al-Baidhawi dan Al-Khazin mengartikan hikmah dengan ucapan yang tepat
(al-maqâlah al-muhkamah), yaitu dalil yang menjelaskan kebenaran dan
menyingkirkan kesamaran (ad-dalil al-muwadhdhih li al-haq wa alimuzîh li asy-syubhah)[22].
Al-Asyqar menafsirkan hikmah dengan ucapan yang tepat dan benar (al-maqâlah
al-muhakkamah ash-shahîhah).
Kesimpulannya,
jumhur mufasir menafsirkan kata hikmah dengan hujjah atau
dalil. Dari ungkapan para mufasir di atas juga dapat dimengerti, bahwa hujjah yang
dimaksud adalah hujjah yang bersifat rasional (‘aqliyyah/fikriyyah),
yakni hujjah yang tertuju pada akal. Sebab, para mufasir seperti
al-Baidhawi, al-Alusi, an-Nisaburi, al-Khazin, dan an-Nawawi al-Jawi mengaitkan
seruan dengan hikmah ini kepada sasarannya yang spesifik, yakni
golongan yang mempunyai kemampuan berpikir sempurna.
Al-burhân al-‘aqlî (argumentasi
logis) yang di maksud adalah argumentasi yang masuk akal, yang tidak
dapat dibantah, dan yang memuaskan. Yang dapat mempengaruhi pikiran dan
perasaan siapa saja. Sebab, manusia tidak dapat menutupi akalnya di hadapan
argumentasi-argumentasi yang pasti serta pemikiran yang kuat. Argumentasi logis
mampu membongkar rekayasa kebatilan, menerangi wajah kebenaran, dan menjadi api
yang mampu membakar kebobrokan sekaligus menjadi cahaya yang dapat menyinari
kebenaran.
Hikmah, memang, kadangkala
berarti menempatkan persoalan pada tempatnya; kadangkala juga berarti hujjah
atau argumentasi. Dalam ayat ini, tidak mungkin ditafsirkan dengan makna
menempatkan persoalan pada tempatnya. Makna hikmah dalam ayat ini adalah hujah
dan argumentasi
Dakwah atau pengajaran dengan
cara hikmah, umumnya diberikan oleh seseorang untuk menjelaskan sesuatu kepada
pendengarnya yang ikhlas untuk mencari kebenaran. Hanya saja, ia tidak
dapat mengikuti kebenaran kecuali bila akalnya puas dan hatinya tenteram
2. Makna Mau‘izhah
Al-hasanah.
Sebagian mufasir menafsirkan mau’izhah
hasanah (nasihat/peringatan yang baik) secara global, yaitu nasihat atau
peringatan al-Quran (mau’izhah al-Qur’an). Demikian pendapat al-Fairuzabadi,
as-Suyuthi, dan al-Baghawi. Namun, as-Suyuthi dan al-Baghawi sedikit menambahkan,
dapat juga maknanya perkataan yang lembut (al-qawl ar-raqîq).
Merinci tafsiran global
tersebut, para mufasir menjelaskan sifat mau’izhah hasanahsebagai suatu
nasihat yang tertuju pada hati (perasaan), tanpa meninggalkan karakter nasihat
itu yang tertuju pada akal. Sayyid Quthub menafsirkan mau’izhah hasanah sebagai
nasihat yang masuk ke dalam hati dengan lembut (tadkhulu ilâ
al-qulûb bi rifq).[23] An-Nisaburi
menafsirkan mau’izhah hasanah sebagai dalil-dalil yang memuaskan (ad-dalâ’il
al-iqna’iyyah), yang tersusun untuk mewujudkan pembenaran (tashdîq) berdasarkan
premis-premis yang yang telah diterima.[24] Al-Baidhawi dan
Al-Alusi menafsirkan mau’izhah hasanah sebagai seruan-seruan yang
memuaskan/meyakinkan (al-khithâbât al-muqni‘ah) dan ungkapan-ungkapan yang
bermanfaat (al-‘ibâr al-nâafi‘ah).[25] An-Nawawi al-Jawi
menafsirkannya sebagai tanda-tanda yang bersifat zhanni (al-amârât
azh-zhanniyah) dan dalil-dalil yang memuaskan.[26] Al-Khazin
menafsirkan mau’izhah hasanah dengan targhîb(memberi dorongan
untuk menjalankan ketaatan) dan tarhîb (memberikan ancaman/peringatan
agar meninggalkan kemaksiatan).[27]
Dari berbagai tafsir itu,
karakter nasihat yang tergolong mau’izhah hasanah ada dua:Pertama,
menggunakan ungkapan yang tertuju pada akal. Ini terbukti dengan ungkapan yang
digunakan para mufasir, seperti an-Nisaburi, al-Baidhawi, dan al-Alusi, yakni
katadalâ’il (bukti-bukti), muqaddimah (premis), dan khithâb (seruan).
Semua ini jelas berkaitan dengan fungsi akal untuk memahami. Kedua,
menggunakan ungkapan yang tertuju pada hati/perasaan. Terbukti, para mufasir
menyifati dalil itu dengan aspek kepuasan hati atau keyakinan. An-Nisaburi,
misalnya, mengunakan kata dalâ’il iqnâ‘iyyah (dalil yang menimbulkan
kepuasan). Al-Baidhawi dan al-Alusi menggunakan ungkapan al-khithâbât
al-muqni‘ah (ungkapan-ungkapan yang memuaskan). Adanya kepuasan dan
keyakinan (iqnâ‘) jelas tidak akan terwujud tanpa proses pembenaran dan
kecondongan hati. Semua ini jelas berkaitan dengan fungsi hati untuk meyakini
atau puas terhadap sesuatu dalil. Di antara upaya untuk menyentuh perasaan
adalah menyampaikan targhîb dan tarhîb, sebagaimana ditunjukkan
oleh Al-Khazin.
Al-Quran telah mempraktikkan
hal tersebut, pada saat ia menyeru pemikiran ia pun mempengaruhi perasaan
manusia. Oleh karena itu di dalam proses pengajaran dan
pendidikan hendaklah mengandung unsur-unsur tersebut. Adapun mau’izhah al
hasanahatau nasihat yang baik, umumnya dengan cara memberikan berita
gembira dan berita peringatan dari Allah Pencipta alam. Misalnya
firman Allah SWT.dalam Surat Al-A’raf ayat 179:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ
كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا
وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آَذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ
بِهَا أُولَئِكَ
كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ
أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Artinya:
“Sesungguhnya Kami telah
menjadikan isi neraka Jahanam itu kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka
mempunyai pikiran tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat
Allah). Mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakan untuk
memperhatikan (ayat-ayat Allah). Mereka juga mempunyai telinga tetapi tidak
dipergunakan untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka itu
seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lalai.”.[28]
Seruan dengan mau‘izhah
hasanah ini tertuju pada orang-orang yang kemampuan berpikirnya tidak secanggih
golongan yang diseru dengan hikmah, tetapi masih mempunyai fitrah yang
lurus. Demikian menurut al-Baidhawi, al-Alusi, an-Nisaburi, al-Khazin, dan
an-Nawawi al-Jawi.
Tafsir / Indonesia / DEPAG /
Surah An Nahl 125
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ
بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ
بِالْمُهْتَدِينَ
Dalam ayat ini Allah SWT
memberikan pedoman-pedoman kepada Rasul-Nya tentang cara mengajak manusia
(dakwah) ke jalan Allah. Yang dimaksud jalan Allah di sini ialah agama Allah
yakni syariat Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
Allah SWT dalam ayat ini
meletakkan dasar-dasar dakwah untuk pegangan bagi umatnya di kemudian hari
dalam mengemban tugas dakwah.
Pertama: Allah SWT menjelaskan
kepada Rasul-Nya bahwa sesungguhnya dakwah ini adalah dakwah untuk agama Allah
sebagai jalan menuju rida Ilahi. Bukanlah dakwah untuk pribadi dai (yang
berdakwah) ataupun untuk golongannya dan kaumnya.
Rasul saw diperintahkan untuk
membawa manusia ke jalan Allah dan untuk agama Allah semata-mata.
Kedua: Allah SWT menjelaskan kepada Rasul saw agar dakwah itu dengan hikmah. Hikmah itu mengandung beberapa arti:
Kedua: Allah SWT menjelaskan kepada Rasul saw agar dakwah itu dengan hikmah. Hikmah itu mengandung beberapa arti:
Berarti pengetahuan tentang
rahasia dari faedah segala sesuatu. Dengan pengetahuan itu sesuatu dapat diyakini
keadaannya.
Berarti perkataan yang tepat
dan benar yang menjadi dalil (argumen) untuk menjelaskan mana yang hak dan mana
yang batal atau syubhat (meragukan).
Arti yang lain ialah kenabian
mengetahui hukum-hukum Alquran, paham Alquran, paham agama, takut kepada Allah,
benar perkataan dan perbuatan.
Artinya yang paling tepat dan
dekat kepada kebenaran ialah arti yang pertama yaitu pengetahuan tentang
rahasia dan faedah sesuatu, yang mana pengetahuan itu memberi manfaat. 32.1)
Dakwah dengan hikmah adalah
dakwah dengan ilmu pengetahuan yang berkenan dengan rahasia, faedah dan maksud
dari wahyu Ilahi, suatu pengetahuan yang cukup dari dai, tentang suasana dan
keadaan yang meliputi mereka, pandai memilih bahan-bahan pelajaran agama yang
sesuai dengan kemampuan daya tangkap jiwa mereka sehingga mereka tidak merasa
berat dalam menerima ajaran agama, dan pandai pula memilih cara dan gaya
menyajikan bahan-bahan pengajian itu, sehingga umat mudah menerimanya.
Ketiga: Allah SWT menjelaskan
kepada Rasul agar dakwah itu dengan pengajaran yang baik, yang diterima dengan
lembut oleh hati manusia tapi berkesan di dalam hati mereka.
Tidaklah patut jika pengajaran
dan pengajian itu selalu menimbulkan pada jiwa manusia rasa gelisah cemas dan
ketakutan. Orang yang jatuh karena dosa, disebabkan jahilnya atau tanpa
kesadaran, tidaklah wajar kesalahan-kesalahannya itu dipaparkan secara terbuka
sehingga menyakitkan hatinya.
Khutbah atau pengajian yang
disampaikan dengan bahasa yang lemah lembut, sangat baik untuk menjinakkan hati
yang liar dan lebih banyak memberikan ketenteraman daripada khutbah dan
pengajian yang isinya ancaman dan kutukan-kutukan yang mengerikan. Jika pada
tempat dan waktunya, tidaklah ada jeleknya memberikan pengajaran pengajian yang
berisikan peringatan yang keras atau tentang hukuman-hukuman dan azab-azab yang
diancamkan Tuhan kepada mereka yang sengaja berbuat dosa (tarhib).
Rasul saw, untuk menghindari
kebosanan dalam pengajiannya, menyisipkan dan mengolah bahan pengajian yang
menyenangkan, dengan bahan yang menimbulkan rasa takut. Dengan demikian tidak
terjadi kebosanan yang disebabkan urutan-urutan pengajian yang berisi perintah
dan larangan tanpa memberikan bahan pengajian yang melapangkan dada atau yang
merangsang hati untuk melakukan ketaatan dan menjauhi larangan. 322)
Keempat: Allah SWT menjelaskan
bahwa bila terjadi perbantahan atau perdebatan dengan kaum musyrikin ataupun
ahli kitab, maka hendaklah Rasul membantah mereka dengan perbantahan yang baik.
Suatu contoh perdebatan yang baik ialah perdebatan Nabi Ibrahim dengan kaum (Nabi Ibrahim) yang membawa mereka berpikir untuk memperbaiki kesalahan mereka sendiri, sehingga mereka menemukan kebenaran.
Suatu contoh perdebatan yang baik ialah perdebatan Nabi Ibrahim dengan kaum (Nabi Ibrahim) yang membawa mereka berpikir untuk memperbaiki kesalahan mereka sendiri, sehingga mereka menemukan kebenaran.
Tidaklah baik memancing lawan
dalam berdebat dengan kata yang tajam, karena hal demikian menimbulkan suasana
yang panas. Sebaliknya hendaklah diciptakan suasana nyaman dan santai sehingga
tujuan dalam perdebatan untuk mencari kebenaran itu dapat tercapai dengan hati
yang puas.
Suatu perdebatan yang baik
ialah perdebatan yang dapat menghambat timbulnya sifat jiwa manusia yang
negatif seperti sombong, tinggi hati, tahan harga diri, sifat-sifat tersebut
sangat peka.
Lawan berdebat supaya dihadapi
demikian rupa sehingga dia merasa bahwa harga dirinya dihormati, dan dai
menunjukkan bahwa tujuan yang utama ialah menemukan kebenaran kepada agama
Allah SWT.
Kelima: Allah SWT menjelaskan
kepada Rasul saw bahwa ketentuan akhir dan segala usaha dan perjuangan itu,
pada Allah SWT. Hanya Allah SWT sendiri yang menganugerahkan iman kepada jiwa
manusia, bukanlah orang lain ataupun dai itu sendiri. Dialah Tuhan Yang Maha
Mengetahui siapa di antara hamba-Nya yang tidak dapat mempertahankan fitrah
insaniahnya (iman kepada Allah) dari pengaruh-pengaruh yang menyesatkan, hingga
dia jadi sesat, dan siapa pula di antara hamba yang fitrah insaniahnya tetap
terpelihara sehingga dia terbuka menerima petunjuk (hidayah) Allah SWT.
Tafsir / Indonesia / Jalalain / Surah An Nahl 125
(Serulah) manusia, hai Muhammad
(kepada jalan Rabbmu) yakni agama-Nya (dengan hikmah) dengan Alquran (dan
pelajaran yang baik) pelajaran yang baik atau nasihat yang lembut (dan
bantahlah mereka dengan cara) bantahan (yang baik) seperti menyeru mereka untuk
menyembah Allah dengan menampilkan kepada mereka tanda-tanda kebesaran-Nya atau
dengan hujah-hujah yang jelas. (Sesungguhnya Rabbmu Dialah Yang lebih
mengetahui) Maha Mengetahui (tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk) maka Dia
membalas mereka; ayat ini diturunkan sebelum diperintahkan untuk memerangi
orang-orang kafir. Dan diturunkan ketika Hamzah gugur dalam keadaan tercincang;
ketika Nabi saw. melihat keadaan jenazahnya, lalu beliau saw. bersumpah melalui
sabdanya, "Sungguh aku bersumpah akan membalas tujuh puluh orang dari
mereka sebagai penggantimu."
"dari berbagai sumber"
No comments:
Post a Comment